Jumat, 30 Januari 2015

Menjelajah Perut Karst Pangkep


Wisata Menikmati Pesona “Perut” Karst Pangkep


Di  tebing curam pegunungan karst, Desa Belae, Kecamatan Minasa Te’ne, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Termasuk kawasan Taman Nasional Bantimurung- Bulusaraung. Dalam bahasa setempat Kalibong berarti lubang dan Alo adalah penamaan untuk burung Julang Sulawesi.

Saat tiba di mulut gua, cucuran keringat dan beberapa luka lecet karena goresan batu karst tajam, menjadi tak berarti. Hamparan pemandangan membuat anda terpukau.  Sekecil jempol. Hamparan sawah berpetak-petak kecil, seperti buatan anak sekolah dasar saat menggambar. Begitu menyenangkan.

Menakjubkan

Desember adalah awal musim hujan di sebagian wilayah Sulsel.

Bagai latihan baris berbaris, satu persatu kami memasuki ceruk gua yang tak begitu luas. Berjalan dengan menenteng kamera, menjaga kepala dari benturan dan memperhatikan pijakan kaki yang mulai licin. Sekitar lima meter, ruangan besar tepat di hadapan, seperti aula sekolah yang menampung ratusan bahkan ribuan murid.

Seakan tak berada dalam gua. Udara tak lembab. Plafon gua di hiasi stalagtit, di dinding-dinding gua ada ornamen gorden, lantai berdiri stalagmit, terdapat danau-danau kecil,  hingga aliran air dari batuan kalsit berkilau.


Ornamen yang dinamakan tirai pengantin. Ornamen ini tak lain gorden lebar.  Saat disorot lampu, kilau seperti kristal. Putih bersih.
Pada ujung-ujung masih menetes air  dan membentuk ornamen lain dari dasar lantai gua. Proses inilah yang disebut sebagai karstifikasi. Air hujan yang merembes melalui punggung-punggung karst membuka celah atau retakan dan menyimpan dalam batuan. Perjalanan membentuk ornamen gua, melalui proses kimia dari unsur air (H2O), udara (O2), dan karbon (CO2) yang larut bersama kalsit (CaCO3). Pada dasarnya sama dengan pembentukan karang di bawah laut.

Terdapat pilar, yakni proses panjang puluhan bahkan ratusan tahun yang menyatukan stalagtit dan stalagmit. Tak hanya satu pilar, ada puluhan.
Menyaksikan aliran kalsit dari plafon gua hingga lantai.Aliran-aliran kalsit yang membeku itu seperti gelombang air meliuk mengikuti lekukan tebing. Sangat indah. Putih bak salju.

Empat jam menjelajah perut Kalibong terasa begitu singkat. Kami mencoba mematikan lampu dalam kegelapan. Saat keluar, sudah pukul 20.00. Kami disambut pendar kecil cahaya bintang.

Stalagtit, stalagmit dan beberapa ornamen gua lain, katanya,  adalah langkah awal memprediksi iklim masa lalu. “Jika semua rusak seperti ini,  itu salah satu kecelakaan dalam ilmu pengetahuan.”

Di beberapa bagian gua, terdapat beberapa ornamen rusak. Patahan berhamburan di lantai. “Orang-orang yang mencari bongkahan batu giok. Mereka menghancurkan dan mencari inti batuan, padahal ornamen gua yang dibentuk air itu sangat rapuh.”


Di tebing ini, bagi penjelajah pemula, harus abseil – meluncur turun dengan menapak tebing menggunakan tali – seseorang di bagian bawah lain bertugas sebagai bilayer (mengatur laju penurunan).

Kita juga bisa menjelajah menggunakan perahu yang sudah disediakan oleh penduduk desa
Selamat berwisata menikmati keindahan alam yang sudah disediakan oleh Allah SWT


0 komentar:

Posting Komentar